Kapitalisme Global Penyebab Kerusakan Lingkungan
Engkos Koswara |
Secara umum masalah lingkungan yang dihadapi manusia sekarang adalah rata-rata suhu bumi yang meningkat. Konsumsi energi manusia naik lebih dari 70% dibandingkan 30 tahun lalu. Emisi CO2 meningkat; kadar nitrogen dalam ekosistem juga meningkat, menimbulkan masalah terhadap siklus nitrogen di alam. Deforestrasi seluas satu negara Israel terjadi di Amazon saja setiap tahun. Banyak spesies di darat, laut dan udara juga punah atau di ambang kepunahan (lihat Philippe Legrain, ”Open World: The Truth About Globalisation” (2001)).
Ada sebagian orang menyesalkan, lebih tepatnya lagi menuding asosiasi individu dalam ledakan pendudukan disetiap Negara sebagai penyebab paling krusial atas beragam kerusakan ligkungan. Sehingga muncullah saran moral bagi para pengantin baru untuk sedari awal merencanakan kelahiran.
Indonesia merupakan negara dengan nomor urut keempat dalam besarnya jumlah penduduk setelah China, India, dan Amerika Serikat. Menurut data statistik dari BPS, jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah 225 juta jiwa, dengan angka pertumbuhan bayi sebesar 1,39 % per tahun. Angka pertumbuhan ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan angka pertumbuhan bayi pada tahun 1970, yaitu sebesar 2,34%. Dengan jumlah penduduk sebesar 225 juta jiwa, maka pertambahan penduduk setiap tahunnya adalah 3,5 juta jiwa.
Boleh jadi kaum liberal berpendapat seperti demikian karena mengantongi cukup data sehingga mengetemukan korelasi antara Lonjakan penduduk yang sangat tinggi atau baby booming dengan dampak begitu luas, termasuk juga dampak bagi ekologi atau lingkungan hidup. Hal itulah yang kemudian menyajikan alasan dapat mengganggu keseimbangan, bahkan merusak ekosistem yang ada.
Dalam perkembangan sejarah manusia, titik awal ledakan penduduk bisa ditarik dari ordinatnya fase peralihan corak ekonomi hunting-gathering ke suatu fase baru bernama masyarakat agraris. Lalu lonjakan berikut sangat ekstrim setelah revolusi industry yang jauh lebih besar dari ere-era sebelumnya dan memang dalam waktu yang bersamaan kerusakan lingkugan cukup menggila bahkan hingga saat ini dimana pertumbuhan peduduk berlangsung semakin eskalatif kerusakan ligkungan pun semakin menegaskan ancamannya bagi masa depan manusia.
Jika merujuk pada pernyataan Poo Tjian Sie,bahwa “lingkungan hidup adalah kesatuan ekosistem atau system kehidupan yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, (tatanan alam),dan makhluk hidup, termasuk manusia dengan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”, mungkin bisa dibenarkan korelasional tadi. Namun jika di pandang dari aspek kasualistiknya tentu persoalan besar ini tak sekedar disebabkan oleh ledakan penduduk, namun memiliki kaitan erat dengan beroperasionalnya sebuah kesatuan sistem yg berinteraksi dan berlaku di atas bumi ini sehingga secara kohesifitas kita bisa telusuri jejak-jejaknya. Dan, sistem tersebut adalah KAPITALISME yang saat ini Berjaya di dunia.
Benarkah Kapitalisme yang merusak lingkungan?
Sah-sah saja bila kaum liberal menyatakan tak sepenuhnya kerusakan bumi kita desebabkan oleh kapitalisme (yang sudah kita anggap bahwa system tersebut berwatak eksploitatif dan menindas). Andai pun tembok berlin tidak runtuh dan Jerman tetap terbagi dua (Jerman Barat dan Jerman Timur) mungkin saja kita bisa jumpai contoh empiris perbedaan mendasar di negara bagian eropa barat sana mengenai keadaan lingkungannya yang sering disimpulkan oleh para peneliti borjuis bahwa Jerman Barat yang menganut system ekonomi Kapitalisme, dengan populasi jauh lebih tinggi dari Jerman Timur yang kecenderungannya sosialisme, kondisi lingkungannya pada level tertentu juga jauh lebih ekologis dari negara rival sebelah timurnya itu. Bukti empiris lain juga datang dari AS ketika Negara itu memberlakukan Perdagangan Pollution Permit dari gas Nitro Oxide yang pada tahun 1990, cukup sukses menurunkan tingkat hujan asam hingga 80%. Kapitalisme dengan mekanisme pasarnya pun mengklaim memiliki kemauan meningkatkan kualitas ekologi seperti ditemukannya mobil hemat BBM dan kendaraan dengan kinerja 4 tax untuk mengurangi emisi? Kebijakan rehabilitasi sungai sebagaimana yang dilakukan di beberapa Negara seperti hongkong, belanda dan korea? Lalu pertanyanannya : apakah data empiris tadi menjadi alasan tunggal karena meningkatnya kesejahteraan rakyat kemudian merangsang permintaan kondisi tempat tinggal yang lebih ekologis pula? Hal-hal seperti inilah yang oleh kalangan liberal disebut sebagai salah satu kehebatan kapitalisme.
Dalam alur pikiran saya, fakta empiris tersebut di atas dalam konteks watak kapitalisme yang hanya dipandang dari satu sisi saja yaitu korelasional dalam pengertian yang sangat sempit tanpa menyertakan kausalitas secara komprehensif. Namun pandangan kaum liberal tak selesai sampai di situ, mereka melompat ke ranah sosio-ekonomi guna memperkuat argumentasi simplistiknya dengan klaim peran penting kapitalisme antara tahun 80-90an tentang penurunan tingkat kemiskinan ekstrem sebanyak 500 juta manusia terutama kontribusi terbesar dari Cina setelah reformasi ekonomi, serta India setelah liberalisasi (setelah kedua Negara tersebut berhaluan kapitalis). Namun itu pun lagi-lagi fakta empiris yang ditinjau dari aspek korelasi antara kinerja kapitalisme sebagai sebuah mesin ekonomi di tingkatan tertentu (belum kepada kausalitas global tentang kapasitas Negara dalam ukuran besar kecilnya capital Negara tersebut) yang dalam pengertian kontradiksi imperialisme yang nyata-nyata memerankan hak milik, cost-benefit, opportunity cost dsb dalam mekanisme industri, pasar, moneter, fiscal yang mensaratkan pengeksploitasian sumber daya alam dan buruh yang selama ini terjadi di negara dunia ke tiga.
Karena kapitalisme adalah satu kesatuan sistem dunia, maka dia tak mengenal batas-batas Negara, dia juga tidak mengenal ras, suku bangsa dan agama. Negara dan manusia dalam makna ladang sumber bahan baku serta tenaga kerja untuk dieksploitasi plus menjadi konsumennya (pasar), sekaligus mendegradasi kondisi lingkungannya. Sebagai contoh, rusaknya Citarum telah memberi dampak bencana banjir; kebijakan TPST Cikelor-Rengasdengklok (baca : gagal dioperasionalkan karena penolakan masyarakat) yang hendak dijadikan tempat pembuangan limbah kimia dari Jepang; rusaknya pertanian karawang (yang ditandai gagal panen) pada 2 tahun terakhir ini, katakan penyebabnya adalah anomali cuaca dan berkurangnya sumber-sumber mata air; kerusakan pun terjadi di laut yang ditandai oleh penurunan level pendapatan tangkapan nelayan karena simbiosis biota laut terputus berikut hilangnya sebagian besar hutan mangrove menyertai abrasi hampir di seluruh pesisir utara Karawang. Parahnya lagi pada fenomena kerusakan laut, kaum liberal malah mengeluarkan ide privatisasi dan metode tradable permits dalam kerangka logika potential revenuenya. Sunguh jahat.
Padahal persoalan mendasar di laut bukan sekedar penangkapan ikan dan rendahnya tingkat kepedulian manusia atas kelangsungan dunia laut melainkan kerusakan yang banyak disebabkan oleh naiknya suhu air laut dan dikontaminasi oleh limbah-limbah cair industry berbahaya serta eksploitasi besar-besaran baik “ikan” maupun kekayaan laut lain seperti pengerukan “pasir laut“ yang terjadi di banyak perarian kita. Salah satu contohnya adalah seperti apa yang terjadi di Muara Bungin-Tanjungpakis (namun gagal pula karena penentangan warga). Artinya penyumbang kerusakan laut adalah eksploitasi dalam skala besar yang dilakukan oleh dunia usaha/kapitalisme, bukan oleh nelayan.
Kesalahan-kesalahan ini yang mungkin disebut bagaikan cacat bawaan yang melekat pada kapitalisme sejak kelahirannya. Cacat ini sedemikan fatalnya sehingga yang diperlukan bukan lagi koreksi berupa pembaruan atau perbaikan pada lapisan kulitnya saja, namun perombakan total untuk membentuk sistem yang sama sekali baru (Jerry Mander dkk, 2004)
Kapitalisme dan Negara peduli ekologi?
Diatas, yang disimpulkan kaum liberal adalah dimana swasta/peran pemodal dalam upaya recovery atas kondisi lingkungan sangat signifikan. Inisiatif-inisiatif modal dalam evolusi produk seperti peran perusahaan otomotif dalam kompetisi pasar motor 4 tax atau kendaraan hemat BBM dalam hal ini perusahaan Jepang peraih keuntungan terbesar. Sementara poltak mencontohkan peran Negara seperti Jerman dalam rangka hemat BBM dengan membagi-bagikan panel surya kepada masyarakatnya padahal Negara tersebut jarang di sinari matahari. Dicontohkannya lagi, pemerintah India dalam upaya penghematan atas kayu bakar membagi-bagikan kompor matahari kepada masyarakatnya, namun nyaris sia-sia karena kebanyakan masyarakat harus memasak pada saat (kira-kira waktu subuh di kita). Atau contoh terdekat seperti PT. Toyota yang berdiri di KIIC Karawang Barat dengan program CSR nya menggalakan penghijauan, kebersihan lingkungan, dsb. Yang dilakukan dunia usaha/swasta hamper sama sekali tidak dilakuakan secara aktif oleh pemerintah. Benar kalau muncul pernyataan bahwa pada derajat tertentu swasta/pemodal/pelaku pasar akan secara aktif melakukan upaya penangggulangan kerusakan lingkungan. Dan pemerintah, TIDAK. Itu sebenarnya lebih didasari oleh kontradiksi-kontradiksi internal modal untuk melakukan antisipasi segala hal yang akan menyebabkan terganggunya proses beranak pinak modal mereka. Sementara pemerintah dengan watak inlander hanya memiliki kepentingan atas komisi/fee dari nilai-nilai keuntungan capital selama tak ada resistensi politik atau dari masyarakat (dalam pengertian stabilitas domain publik). Dengan kata lain, saat didapati besarnya perhatian swasta terhadap lingkungan bukan semata-mata dilandaskan pada keadilan ekologi, melainkan antisipasi reaksi dalam hukum modal (hidup matinya bisnis mereka) yang harus terus menerus menaikan keuntungannya. Sementara peran Negara sebagaimana dikatakan Elinor Ostrom tentang Common Pool Resources (CPR), negara justru malah melakukan crowding-out dalam bentuk-bentuk kerjasama untuk setting interaksi seperti CPR. Termasuk bagaimana kelembagaan dibangun (crafted) di luar struktur pasar dan Negara.
Jelas. Baik inisiatif swasta maupun pemerintah dalam mengatasi persoalan lingkungan bukan terletak pada keadilan-keadilan ekologis, namun tak lebih dari upaya untuk mempersiapkan serta melancarkan misi-misi capital yang lebih besar lagi, karena sesungguhnya para penggagas neoliberal seperti Adam Smith, Milton Friedman, Fredrick Von Hayek hingga Thatcher dan Reagan sependapat untuk membuang jauh-jauh ingatan dunia ketiga tentang sosialisme, nasionalisme, demokrasi rakyat sampai welfare state/Keynesian dengan mengesampingkan peran Negara dalam setiap kegiatan ekonomi.
Alternative bagi kelangsungan lingkungan hidup di masa depan
Pemakluman pun mesti dihadapkan lagi bagi ketidak yakinan banyak kalangan atas solusi alternative seperti hal “sosialisme” dengan menarik lagi benang empiris dalam sejarah panjang manusia. Cerminannya adalah saat kekuatan sosialis dunia masih besar berarti menjadi ancaman paling ekstrim bagi dunia barat penganut kapitalisme, bersamaan dengan itu hadir pendapat bahwa baik kapitalisme maupun sosialisme yang pernah ada, sama-sama mengabaikan aspek termodinamis dari energy. Sonny berpendapat tentang jalan tengah bagi keadilan ekologi dalam perspektif ekonomi, bahwa Banyak riset, misalnya, menunjukan apa yang disebut ekonom sebagai 'preferensi lexicografik.' Persepsi atas konservasi, keberlanjutan, atau spesies tertentu, tidak bisa dibeli atau dikompensasi (termasuk apalagi oleh insentif uang). Ecological Economics telah membahas banyak hal relevan yang terkait inkomensurabilitas. (Mekanisme pasar, dan ekonomi neoklasik, mensyaratkan ada komensurabilitas). Analisa Cost/Benefit, Contingent Valuation dianggap sebagai bahan olok-olok di titik ini. Seperti apa contoh preferensi lexicografik? Bayangkan contoh dramatis ini: seorang yang bersedia mengikat dirinya di pohon agar pohon itu tak sampai ditebang. Dalam CB analysis, biasanya orang-orang macam ini - proporsinya tidak bisa diabaikan - dihilangkan dari sampel karena tidak sesuai dengan logika seperti Willingness to Pay.
Hal ini menurut saya, sungguh begitu sempit apabila cukup dengan berpaling ke Ecological Economics yang sekedar mengindahkan aspek biofisik ekosistem, sosial dan dimensi waktu. Kalo begitu tetap saja memandang ekologi/lingkungan seperti sesuatu yang berdiri sendiri tanpa ada factor lain yang turut mempengaruhinya. Sehingga, CAP terhadap kapitalisme sebagai kesatuan system yang selain menyebabkan kerusakan lingkungan juga mendepak mundur demokrasi, menghilangkan hak-hak atas hajat paling asasi manusia (terutama buruh, tani dan rakyat miskin juga dunia ketiga) akan MEMUDAR menegasikan tuntutan kesejahteraan dan keadilan.
Bagaimanakah dengan sosialisme?
Seperti halnya kapitalisme. Sosialisme adalah sebuah kesatuan system. Sosialisme pernah tumbuh subur di banyak negeri seperti Rusia, Eropa Timur, Amerika Latin juga Asia. Keruntuhan sosialisme memang pertanda kejayaan kapitalisme. Namun dengan keruntuhan sosialisme bukan semata-mata ada yang salah di dalamnya. Sosialisme terus berdinamika di dalamnya senafas dengan jiwa-jiwa manusia yang merindukan kesetaraan, keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan secara global. Soviet yang menjadi kiblat sejarah sosialisme dunia kemudian mengakhiri ketegangan (perang dingin) dengan blok barat (AS dan sekutunya) bersamaan dengan keruntuhannya. Perjalanan Soviet harus diteliti secara detail, dimasa paska kepemimpinan Lenin, terutama di masa sang dictator Stalin yang mengubah haluan sosialisme ke arah kapitalisme Negara. Hingga keruntuhan USSR masa gorbachev. Sosialisme tidak demikian. Sekali lagi dia memiliki dinamika ke arah yang selalu positif. Ada baiknya kita buka cakrawala baru mengenai sosialisme terkait dengan Lingkungan. Penting nampaknya kita menengok amerika latin, tepatnya Negara Quba. Hingga saat ini sosialisme masih menjadi pegangan ideology masyarakat quba yang telah menempatkan LINGKUNGAN sebagai sebuah kebijakan, bukan lagi isu sebagaimana pandangan terhadap lingkungan dan juga feminisme diera paska keruntuhan sosialisme Soviet yang mendistorsi perjuangan kelas. Kini Quba telah menjalani peralihan fundamental menuju pertanian organik dan pengadopsian praktek-praktek yang berkesinambungan secara ekologis dalam seluruh ekonominya (Diana Raby). Dimana system ini juga diikuti oleh Venezuela, Bolivia dan ekuador terutama pada “revolusi energi” sebagai solusi atas krisis energy dunia yang banyak membawa malapetaka lingkungan.
Benar, Sosialisme pernah dijatuhkan kapitalisme 1990 an, namun hari ini sosialisme yang membingkai keadilan lingkungan; mempertinggi derajat kaum buruh, tani juga perempuan; mengedepankan demokrasi dan menegakkan hukum, tengah tumbuh subur di Amerika Latin untuk diteladani Indonesia.
Environment Day 5 Juni 2011
Oleh ; Engkos Koswara
Penulis ialah Anggota Serikat Petani Karawang
Posted by Moy
on 21.16. Filed under
berita,
lingkungan
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.